WESTERNISASI (2)

Mutarjim: Arif Fortuna
Mahasiswa LIPIA Jakarta
A. Westernisasi Kurikulum Pendidikan

Barat berjuang mewesternisasikan semua bentuk sistem pendidikan di negara serta menyerang kurikulum dengan konsep-konsep Barat diiringi dengan pengakuan palsu bahwa ini murni atas dasar alasan ilmiah sehingga pendidikan generasi Islam bisa bersandarkan pada teori mereka. Barat berhasil merealisasikannya terlebih dengan metode-metode berikut:

1. Pembangunan Sekolah-sekolah Sekuler

Contohnya: Universitas Victoria yang didirikan oleh Lord Loyd seorang Duta Perancis di Mesir di era penjajahan, targetnya mendidik anak para pejabat, menteri, dan pimpinan lainnya yang berada di lingkungan pemerintahan Inggris yang akan melanjutkan imprealisme Barat pada jajaran pemerintahan umat Islam . Lord Loyd mengatakan ketika peresmian perkuliahan di universitas ini: "Masing-masing mereka tidak akan butuh waktu lama guna memahami paradigma Inggris disebabkan oleh kedekatan hubungan guru dan siswa" .
2. Pengubahan Kurikulum Sekolah-sekolah Negeri

Seiring dengan penjajahan militer, Barat mempergunakan kesempatan ini guna menerapkan kurikulum baru yang dibuat oleh pakar pendidikan mereka dan pihak terkait lainnya guna mencapai tujuan jangka panjang dan jangak pendek mereka. Untuk itu didatangkanlah seorang pakar pendidikan lulusan Universitas Teologi Inggris untuk merancang politik pendidikan Mesir, hasil rancangannya berupa program-program yang akan menjauhkan generasi Islam dari agamanya, dia berupaya membuat sistem yang mengacuhkan pendidikan agama di sekolah-sekolah kecuali beberapa jam pelajaran tentang gambaran ringkas sejarah Islam, tapi dalam model yang tidak menceritakan perjuangan-perjuangan heroik para pahlawan Islam dan mengabaikan kebangkitan ilmu pengetahuan Islam sementara di pihak lain diajarkan tentang sejarah Eropa dengan pengilustrasian seolah Eropa adalah raksasa tak terkalahkan .

Seperti ini peta fenomena pendidikan di berbagai sekolah negeri di Mesir yang sejalan dengan perencanaan seorang misionaris Dunlop yang kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya bahkan sampai sekarang sisa-sisa kurikulum itu masih terpakai seperti:

o Kurangnya perhatian terhadap mata pelajaran agama sehingga pendidikan agama Islam baru diajarkan pada tingkatan sekolah menengah sementara pada tingkatan sekolah dasar jarang, akibatnya para siswa beranggapan bahwa bidang studi ini tidak penting, disamping itu meremehkan aktifitas-aktifitas ibadah agama dan shalat berjamaah di sekolah, alhasil lemahnya naluri keagamaan siswa dan mereka semakin jauh dari agama baik dalam tatanan keilmuan maupun tatanan praktis .

o Pendistorsian bidang studi sejarah Islam dengan memberikan gambaran sejarah Islam yang menakutkan dan menyeramkan serta mengabaikan nilai-nilai kepahlawanan sehingga siswa tidak mengenal sejarah Islam yang benar.

o Membangkitkan fanatisme kedaerahan jahiliyyah dalam pendidikan seperti sejarah peradaban Firaun di Mesir.

o Memperkenalkan sejarah Eropa dalam potret yang sangat menakjubkan dan pemberian sanjungan terhadap teori-teori filsafat Eropa serta para tokoh Eropa sebagai figur-figur yang mesti diteladani oleh para intelektual muda .

o Konsentrasi besar dalam pengajaran bahasa asing serta menjadikan penguasaan bahasa asing sebagai syarat mendapatkan ijazah dan pekerjaan yang bonafit. Contoh yang paling kongkrit: Aljazair yang bahasa nasionalnya telah diubah menjadi bahasa Perancis dari yang semula berbahasa Arab. Hal seperti ini telah berulangkali diupayakan penerapannya di Mesir lewat penggalakan penggunaan bahasa 'Aamiyah (pasaran/pergaulan) sebagai bahasa adab, sastra dan pergaulan sehari-hari, namun upaya ini belum pernah berhasil seperti di Aljazair.

3. Pereduksian Kontribusi Universitas Al-Azhar

Serangan Perancis terhadap Mesir tahun 1798 dan serangan susulan setelahnya telah membuktikan peranan krusial Al-Azhar. Jajaran ulama Al-Azhar terbukti mampu memobilisasi rakyat dalam perlawanan melawan penjajah Perancis dan ini termanifestasi secara jelas dalam pemberontakan Kairo I dan II . Ketika Muhammad Ali Pasya memimpin Mesir dia berupaya menekan Al-Azhar dan memberhentikan satu persatu pemuka-pemuka Al-Azhar dari jabatan pemerintahan dan segudang konspirasi terselubung lainnya .

Muhammad Ali lebih memprioritaskan para siswa sekolah-sekolah ilmu perindustrian yang baru dibangun di Mesir, kemudian dia mengutus siswa-siswa tersebut sebagai delegasi yang akan melanjutkan studi mereka di luar negeri dan sepulang dari sana, mereka akan ditempatkan pada jabatan-jabatan penting di jajaran pemerintahan. Dengan program ini dia berhasil meraih simpati para kaum terpelajar.

Di era penjajahan, perhatian terhadap sekolah-sekolah ini semakin meningkat disamping penempatan lulusannya pada jabatan-jabatan strategis dengan iming-iming gaji yang tinggi. Keberadaan sekolah ini telah menarik simpati para orang tua untuk menyekolahkan putra-putri mereka pada sekolah-sekolah ini guna jaminan masa depan kehidupan mereka dan meraih status sosial yang tinggi di masyarakat. Sebaliknya, kepedulian terhadap Al-Azhar dan para mahasiswanya semakin kurang dan melemahnya minat belajar dan bekerja disana. Akibatnya, lapangan pekerjaan yang diberikan pada lulusan Al-Azhar terbatas pada penyampaian khutbah mingguan, ceramah-ceramah dan menjadi imam di masjid-masjid, padahal sebelumnya ulama Al-Azhar menduduki pos-pos krusial di pemerintahan dan menjadi acuan bagi para penguasa sebagai tempat konsultasi masalah pemerintahan sehingga banyak diantara ulama Al-Azhar yang ditunjuk menjadi penasehat masalah politik negara dsb.

Tidak cukup sampai disitu saja, pengelolaan waqaf Al-Azahar pun diserahkan pada departemen keuangan negara dan sebagai ganti didirikanlah kementerian urusan perwaqafan dengan anggaran yang sangat terbatas, kemudian pemerintah Revolusi 23 Juli menggabungkan waqaf pada departemen keuangan sehingga akhirnya Al-Azhar mesti loyal pada dunia perpolitikan pemerintahan sehingga banyak para staf Al-Azhar yang harus merangkap bekerja pada pemerintahan dan mesti dikekang dan loyal pada aturan-aturan pemerintahan kecuali orang-orang terpilih.

Kemudian terjadi reformasi dan amandemen kurikulum pendidikan Al-Azhar sebagai universitas yang lebih memberikan skala prioritas terhadap pengajaran ilmu-ilmu umum dibanding dengan ilmu-ilmu syariah, mulai diajarkan hukum-hukum konvensional disamping syariat Islam sementara pengamalan ajaran-ajaran Islam tidak lagi dianggap sebagai keniscayaan, sehingga Al-Azhar melahirkan tamatan-tamatan yang tidak memiliki kapabilitas dalam penyampaian risalah Islam bahkan pengaruh mereka di masyarakat tidak terlalu signifikan lagi.

Seperti ini arah perkembangan Al-Azhar hingga mendorong anak-anak Al-Azhar menerima sepenuhnya dakwah dan propaganda nasionalisme kebangsaan dan hampir tidak terdengar lagi penolakan sistem yang tidak cocok dengan Islam, yang ada hanyalah adaptasi mereka terhadap sekularisme dan westernisasi yang dilancarkan Barat .

B. Mendidik Para Intelektual dan Sastrawan Berpikir ala Barat

Di sela-sela imperealisme militer, penjajah Barat sengaja mendidik para intelek muslim terkemuka supaya berpikir ala Barat kemudian menempatkan mereka pada pos-pos penasehat, konsultan dan pakar keilmuan, sehingga jadilah mereka mediasi Barat untuk mengajak generasi Islam berpikir ala Barat. Mereka terbagi pada dua golongan.



Golongan pertama

Golongan yang dikenal masyarakat sebagai reformis pembawa kebangkitan bangsa, kemudian di belakang hari pemikiran dan konsep mereka ternyata telah terkontaminasi ide-ide Barat, mereka semisal: Abdurrahman al-Kawakibiy, Imam Muhammad Abduh, Abbas Mahmud al-'Aqqad dsb .

Walaupun kaum reformis ini telah banyak berjasa terhadap Islam namun kesedihan hati melihat kondisi umat yang sangat memprihatinkan dan dorongan kejiwaan mengetahui rahasia Barat dalam perkembangan peradaban mereka atau paling tidak usaha memperbaiki image Eropa terhadap Islam dan kaum muslim telah memaksa mereka menganut paham-paham yang sebenarnya menyimpang dari agama, atau mendorong mereka mengambil posisi yang amat toleran pada loyalitas terhadap Barat.

Dan kewajiban kita disini guna mengingatkan umat agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama, agar kesalahan itu tidak semakin berkembang, kembali meluruskan beberapa asumsi kaum reformis atau kritikan terhadap pendapat dan perilaku mereka bukan bermaksud merendahkan dan mengurangi rasa hormat terhadap mereka, namun untuk menghindari agar tidak jatuh pada lubang yang sama dan menjauhkan fanatisme terhadap semua pendapat dan perbuatan mereka sebagai bentuk rasa cinta. Maka sudah seharusnya dalam pencarian kebenaran kita menyebutkan kekeliruan-kekeliruan mereka disamping jasa-jasanya.

Sebagai contoh tulisan Abbas Mahmud al-Aqqad dalam bukunya (at-tafkir faridhah islamiyyah): apakah yang menghalangi umat Islam berdemokrasi dan menganut paham sosisalis atau menjadi partisipan dalam globalisasi? Dan apa yang menghalangi hukum-hukum agama menerima paham kemajuan dan mazhab eksistensialisme . Hingga dia berkata: sesungguhnya aqidah Islam tidak pernah menghalangi muslim untuk menjadi seorang sosialis. Pendapat-pendapat seperti ini adalah nyata-nyata keliru tidak pandang siapapun yang mengucapkannya dan wajib dijelaskan pada umat seputar kekeliruan ini.

Dan perlu diingat kritikan terhadap sebagian pendapat mereka bukan berarti melupakan karya-karya yang telah terbukti berjasa dalam pembelaan agama dari rekayasa-rekayasa musuh, merupakan sebuah kesempurnaan dikala menyebutkan jasa mereka yang banyak, kita tidak lupa menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka juga dan ini bukan aib. Permasalahan penting ini banyak dilupakan banyak orang saat dewasa ini, karena dengan serta merta mereka menggelari orang yang menulis tentang Islam sebagai kaum reformis dan intelektual muslim .




Simplex Magazine2

Aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.