WESTERNISASI

alih bahasa: Arif Fortunately
A. Defenisi Westernisasi

Westernisasi adalah arus besar dalam dimensi politik, sosial, kultur budaya, pengetahuan dan seni untuk mengubah karakter kehidupan bangsa-bangsa di dunia secara umum dan negara-negara Islam khususnya menjadi paham-paham Barat. Hal itu dilakukan demi tujuan menghilangkan karakter dasar mereka dan menjadikan mereka anggota keluarga yang loyal terhadap peradaban Barat . Proses westernisasi (pembaratan) di dunia Islam terkait dengan dua fakta penting:

a. Mengadopsi paham dikotomi agama dari negara (sistem sekuler) sebagaimana telah dipraktekkan di Eropa setelah kebebasannya dari cengkeraman dominasi gereja dan tokoh-tokoh agama kristen, sebagaimana diketahui penyebabnya adalah kontradiksi paham yang dianut pemuka agama kristen dengan munculnya kebangkitan pengetahuan di Eropa sedangkan Islam tidak mengenal kontradiksi antara agama dan negara. Dan tidak pernah terbayangkan dalam Islam adanya dikotomi agama dari negara.
b. Fanatis buta terhadap peradaban Barat materealistis yang merambah aspek sosial, moral dan keyakinan, bahkan taqlid buta ini melebihi taqlidnya peradaban Barat terhadap kebangkitan Eropa dalam ilmu pengetahuan. Ini mengakibatkan terhapusnya karakter sosok muslim sejati dari dalam jiwa mayoritas umat Islam. Pola hidup mereka berubah laksana potret tiruan falsafah hidup (world view) masyarakat Eropa yang materealis, mereka ambil sisi terburuk dari Eropa dan melupakan sisi baik berupa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

B. Media-media westernisasi umat Islam

Pada abad ke 19 dan abad ke 20 Barat mempergunakan banyak media yang telah diteliti sebelumnya untuk mewujudkan target perubahan dalam masyarakat Islam dan mendorong mereka berfalsafah hidup ala Barat . Media-media yang paling terbukti ampuh berperan besar dalam westernisasi masyarakat Islam dan mewujudkan perubahan yang direncanakan adalah sebagai berikut:


a. Delegasi ilmu pengetahuan ke Eropa.
b. Transliterasi (penterjemahan) buku-buku karangan orientalis dan pemikir Eropa.
c. Westernisasi kurikulum pendidikan.
d. Pengkaderan tokoh-tokoh pemikir dan tokoh-tokoh sastra dengan gaya berpikir ala Eropa.
e. Pengkaderan kepemimpinan sekuleris yang akan membawa mayarakatnya jauh dari nilai-nilai Islam.
f. Pembaratan media informasi.
g. Pemotivasian kaum wanita muslimah untuk meninggalkan ajaran Islam.
h. Pemaksaan implementasi hukum dan undang-undang positif.
i. Pengontrolan kudeta-kudeta militer guna menabur benih kepemimpinan-kepemimpinan yang menentang Islam.
j. Penebaran paham-paham atheis dan aliran-aliran berbahaya lainnya.

a. Delegasi Ilmu Pengetahuan ke Eropa

Ketika Muhammad Ali Pasya mengimpikan kebangkitan ilmu dan peradaban di Mesir pasca keberhasilannya mengusir tentara Perancis yang menjajah Mesir, dia mengutus sejumlah generasi muda Islam untuk belajar ke Eropa –atas desakan Perancis-. Kesinambungan pengutusan delegasi ini mempengaruhi gaya berpikir dan pola hidup mereka yang kebarat-baratan, mayoritas mereka yang kembali dari Barat menjadi front terdepan dalam pengkampanyean (dengan perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya) misi pengadopsian budaya dan kebiasaan hidup Barat di semua tatanan kehidupan. Seharusnya sebelum mereka diutus menjadi delegasi untuk belajar ke Barat terlebih dahulu mereka harus dibekali dan dibentengi pemahaman Islam yang lurus, mempersiapkan dan membentengi jiwa dari dampak negatif peradaban Barat yang materealis –jika memang sudah menjadi keputusan penguasa negeri-.

Ketidakpedulian dengan hal-hal diatas dan kondisi para mahasiswa yang kurang terkontrol dalam interaksi dan gesekan dengan pemikiran Eropa serta ketertarikan mereka terhadap kemegahan peradaban materealistis menyebabkan mereka menerima mentah-mentah gaya berpikir seperti Barat, sehingga lama-kelamaan berubah menjadi karakter. Akhirnya terbiasa dan mereka semakin menjauh dari loyalitas terhadap Islam secara sadar maupun tidak sadar. Diantara mereka yang sangat terkontaminasi gaya berpikir Barat dan menyeru pada pemikiran kebarat-baratan adalah Rifaat Thahthawi .

b. Rifaat Rafi' ath-Thahthawi

Masa kecilnya dia lewati sama seperti anak-anak kebanyakan, tamatan Universitas Al-Azhar Kairo, diutus ke Eropa bersama dengan delegasi mahasiswa angkatan pertama sebagai Imam dan penasihat mahasiswa. Menetap di Perancis semenjak tahun 1826-1831, dia belajar bahasa Perancis dan bergaul dengan masyarakat Perancis yang akhirnya membuatnya terpengaruh, sekembalinya dari Perancis dia mulai aktif menebar isu-isu yang belum pernah muncul di kalangan umat Islam seperti isu nasionalisme dan penelitian sejarah masa lampau guna menopang makna nasionalisme (penelitian sejarah raja-raja Fir'aun untuk mengokohkan implikasi nasionalisme Mesir), dia sibuk membahas tentang kebebasan, menuntut pengkodifikasian syariat Islam menjadi seperti kumpulan hukum-hukum konvensional di Eropa, dia banyak menulis tentang wanita dan problema pendidikannya, melarang poligami, pembatasan thalaq (perceraian), membolehkan percampuran pergaulan pria dan wanita seperti dalam praktek masyarakat Perancis serta menilai budaya dansa Barat dimana pria dan wanita saling bersentuhan dan saling bertemu pandang tidak lebih hanya sebagai ungkapan jiwa muda semata .

Setelah Rifaat, muncul pula Muhammad Ali Pasya yang santer menebarkan isu kebanggaan terhadap nasionalisme Mesir dan pengadopsian peradaban Barat, Rifaat berhasil meraih simpati Ali Pasya dan banyak lagi pengikutnya Ibrahim, Abbas, Said dan Ismail. Kemudian peningkatan geliat aktifitas penterjemahan biografi para tokoh Barat menjadi faktor mendapat tempatnya pemikiran Barat di kalangan umat Islam setelah itu .

Pasca penjajahan Inggris, kesempatan bepergian untuk tujuan belajar, bisnis dan pariwisata ke Eropa semakin terbuka, pergesekan kultur budaya yang semakin meningkat dan tolak belakang keduanya menyebabkan munculnya 2 fenomena penting:

c. Penyakit fanatisme

Sebab utama kebangkitan Eropa dan kemunduran negeri Islam adalah sikap mental pendiskreditan dan peremehan agama, sudah semenjak lama sebagian masyarakat Mesir selaku “pihak lemah” terpengaruh dengan masyarakat Eropa “pihak kuat”, kebudayaan Eropa diserap dan diadopsi tapi lebih menonjol pada sisi-sisi negatif, semua mereka lakukan atas nama modernitas, perkembangan, kemajuan, arus reformasi dan mengikuti zaman.

Fanatis (penyakit ikut-ikutan) tidak keseluruhannya negatif, fanatis semacam ini tidak terjadi pada fisik dan tampilan luar tapi lebih pada ilmu dan nilai-nilai positif. Ibnu Khaldun berkata dalam muqaddimahnya: pecundang itu selalu tergila-gila mengikuti musuhnya dalam etika pergaulan, seragam, gaya dsb ). Dan sudah maklum bahwa terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara Islam dengan pola hidup dan paradigma Barat. Tapi peran taqlid telah membutakan mata .

Dr. Muhammad Husein menceritakan peristiwa revolusi sosial yang terjadi di era penjajahan Mesir: Kaum elite Mesir berlomba-lomba memiliki produk keluaran terbaru pabrik-pabrik Eropa sehingga kebutuhan lux seolah-olah telah menjadi kebutuhan pokok. Ada yang mengikuti gaya Eropa hingga ke meja makan, menjaga penampilan ala Eropa, membedakan pakaian dalam berbagai acara, menyambut kehadiran para wanita dengan penyambutan yang melukiskan kasih sayang dalam berinteraksi, melakukan perjalanan wisata ke Eropa guna bersenang-senang dan berfoya-foya melewati musim panas disana, bangga menggunakan bahasa-bahasa asing, mengutus putra-putri mereka untuk melanjutkan studi di universitas-univesitas terkenal Eropa. Dan tak ketinggalan mereka menghadirkan suasana minimalis Eropa di rumah-rumah karena anggapan bahwa Eropa merupakan standar kemajuan dan modernitas .

Taqlid merupakan awal kemunduran masyarakat Islam yang kita rasakan sekarang. Dalam istilah seorang orientalis bernama Gibb menggambarkan fase-fase sulit umat Islam tersebut: Indikasi paling jelas kemunduran dunia Islam pada abad 20 bukan karena mereka mengadopsi lifestyle Barat tapi karena dorongan keinginan yang kuat untuk meniru Barat .

d. Penyakit Ikhtilath

Percampuran pergaulan berperan besar dalam pentransferan budaya dan pencangkokan moral serta etika, interaksi umat Islam dengan orang kafir di luar negeri karena intensitas perjalanan ke luar negeri yang cukup tinggi serta kedatangan mereka ke dalam negeri untuk menjajah dan masih banyak lagi ragam pergaulan yang merambah dunia kerja, perdagangan, bisnis dan pertemuan-pertemuan penting kemudian berkembang menjadi ikatan pertemanan, perkawinan dengan orang asing dan ikatan kehidupan kekeluargaan hingga perjalanan wisata bersama. Dan percampuran pergaulan yang paling berbahaya terjadi di institusi-institusi pendidikan yang dikuasai kaum penjajah dan para uskup serta pastur. Dari pergaulan anak-anak Islam dengan para guru dan pengasuh asing, mereka terpengaruh oleh kebiasaan dan budaya kebaratan, padahal mereka akan menjadi pemimpin umat di segenap aspek kehidupan masa depan, sehingga tidak jarang ditemukan bahwa para pimpinan gerakan revolusi sosial lahir dari sekolah-sekolah asing atau paling tidak menikah dengan seorang yang pernah mengenyam pendidikan disana .

Dampak negatif pergaulan ini termanifestasi jelas pada wanita-wanita muslimah karena mereka sudah melupakan etika dan akhlak Islam. Inilah kemunduran besar yang menimpa umat Islam dan mengantarkannya ke jurang yang paling dalam. Seruan tersembunyi mengajak para wanita muslimah untuk turut aktif bergaul dengan para laki-laki muslim maupun non-muslim dalam ruang lingkup pendidikan, kebebasan dan kemajuan kaum hawa. Tak pelak lagi, wanita muslimah membutuhkan pengajaran dan pendidikan namun terdapat perbedaan fundamental pada kurikulum, media dan metodologi yang dibutuhkan dengan kurikulum yang dicanangkan para praktisi pendidikan yang punya misi menghancurkan umat lewat wanita muslimah.

Uskup Zweimmer berceramah di hadapan para misionaris: “Misionaris pantang berputus asa ketika melihat hasil yang belum memuaskan dari program canangan mereka, karena kita telah membuktikan bahwa di sanubari umat Islam telah tertanam kecenderungan pada ilmu-ilmu Eropa dan paham feminisme”. Pengaruh paling signifikan dari pergaulan semacam ini adalah semisal kesediaan bila tampuk-tampuk kepemimpinan dikuasai Barat, mencintai mereka dan pahamnya, melemahnya semangat kebencian terhadap kaum kafir sehingga istilah kafir jarang digunakan dan yang terpakai istilah “orang asing” padahal dua terminologi itu punya konotasi berbeda.

Imprealisme Barat meraup keuntungan dari generasi baru ini dalam hal penguatan arus westernisasi (pembaratan) dengan melahirkan "generasi yang mudah diatur" karena sudah jauh dari kendali agama, generasi yang lebih memilih paham atheisme dan rasionalisme ketimbang mencari petunjuk agama. Barat berkonsentrasi penuh pada kelompok ini dan menyiapkan posisi-posisi strategis dan jabatan-jabatan tinggi pada mereka serta di sisi lain, menutup kemungkinan para generasi yang masih konsisten terhadap nilai-nilai agama untuk menduduki jabatan serupa agar karakter keagamaan hilang dan pupus dari kehidupan.

Setelah imprealisme berakhir dan bisa diusir dari tanah Mesir, generasi pentolan Barat ini masih bercokol menduduki jabatan-jabatan strategis sehingga mereka masih menjadi perpanjangan tangan Barat dalam usaha westernisasi meskipun Barat sudah tidak berkuasa lagi. Harapan adanya usaha sungguh-sungguh pasca kemerdekaan guna memperbaiki kondisi agar bisa kembali ke jalan yang diridhoi Allah ternyata hanya harapan kosong karena ternyata perjalanan upaya westernisasi masih tetap berlanjut di bawah kendali generasi baru pentolan Barat sehingga terjadi transformasi besar dalam tubuh umat tanpa mereka sadari .


C. Transliterasi Buku-buku Orientalis dan Pemikir Eropa

Kita telah awali buku ini dengan wacana terkait program-program, metodologi-metodologi dan misi-misi yang melatar belakangi niat buruk kaum orientalis, di samping itu lahir juga gerakan transliterasi buku-buku orientalis ke bahasa Arab yang diprakarsai oleh delegasi mahasiswa yang menimba ilmu di Eropa, gerakan ini berpartisipasi aktif dalam penterjemahan buku-buku karangan kaum orientalis yang benci dan dengki terhadap Islam dalam pendistorsian dan penistaan sumber-sumber keilmuan Islam terpercaya dengan pemikiran dan gagasan menyimpang untuk mencapai target mereka menjauhkan generasi Islam dari agama dan umatnya .

Buku-buku karangan orientalis ini telah menimbulkan kerancuan berpikir dan pergolakan besar dalam belantara keilmuan Islam pada jiwa-jiwa yang rapuh iman, sekolah-sekolah heurmenetika telah melahirkan generasi-generasi pemikul arah gerakan pemikiran dan keilmuan dalam dunia Islam, mereka laksana burung Beo yang hanya bisa meniru apa yang disampaikan para pakar orientalis . Sebagai contoh, seorang pengikut orientalisme DR. Ali Hasan Abdul Qadir setelah menyelesaikan program doktoralnya dia bilang pada mahasiswa-mahasiswanya: “Saya akan mengajar kalian mata kuliah Sejarah Hukum Islam tapi dengan metodologi yang belum pernah ada di Universitas Al-Azhar ini, saya telah belajar selama 14 tahun di Al-Azhar, tapi selama itu saya belum memahami Islam”,akunya. Tapi saya baru memahami Islam sewaktu menyelesaikan program doktoralku di Jerman, kemudian dengan santainya dia mengajarkan terjemahan leksikal dari buku karangan Goldzieher "Islamic Studies" .

Para orientalis merintis sebuah kurikulum dan sistem penelitian yang terbukti menarik minat banyak generasi Islam. Khususnya mereka yang berlatar belakang lemah dalam pengetahuan keIslaman dan sejarahnya, dengan mudah mereka menerima teori-teori, pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan penghancur Islam -ditambah dengan rasa kehilangan jati diri-. Hal ini karena banyaknya kesalahan yang terkandung dalam studi-studi mereka sengaja atau tidak. Karakter umum dari studi-studi mereka adalah penyerangan dan penistaan Islam dengan menyemarakkan diskusi-diskusi seputar masalah-masalah sensitif dalam Islam di bawah bendera kebebasan berpikir.

Hasil dari gencarnya serangan orientalisme ini melahirkan lembaga pusat pemikiran rasionalis baru yang berupaya mengharmonisasikan ajaran-ajaran Islam dengan teori-teori Barat. Diantara sekian banyak realita yang muncul adalah sbb :

a) Upaya penulisan tafsir metode baru yang mencakup prinsip-prinsip Islam yang telah diharmonisasikan dengan konsep pemikiran Barat yang sedang merebak.
b) Upaya mempertemukan titik-titik perbedaan antara dua paham ini.
c) Propaganda untuk menyemarakkan geliat ijtihad dalam agama agar sesuai dengan kemajuan zaman.
d) Pengambilan langkah-langkah pembelaan dengan merekayasa permasalahan-permasalahan agama yang sebenarnya sangat bertentangan dengan Islam, seperti: kajian pelarangan poligami, penjatuhan hukuman terhadap kasus perceraian, legitimasi operasi bank-bank konvensional serta dikotomi politik dari agama dsb.
e) Upaya memformat ulang Islam dalam pola westernisasi, modernisasi atau reformasi dengan tujuan menyerang dan menyingkirkan Islam.

Transliterasi karangan-karangan Voltaire, Roso dan Montesquieu untuk mempublikasikan kembali teori dan pandangan mereka padahal tulisan-tulisan mereka itu telah berkembang semenjak abad 18M di Eropa untuk menyalakan api pemberontakan terhadap agama Kristen . Penterjemahan buku-buku filsafat. Ahmad Lutfi as-Sayyid mentranslate buku Etika dari filsafat Aristoteles sementara Thoha Husein menganut ide skeptisisme filosofis dalam teori Dekrates, sedangkan kita tahu bahwa filsafat ini memakai teori keragu-raguan sebagai jalan pengujian esensi validitas sesuatu. Thoha Husein menganut paham ini guna mengingkari semua hakikat dan keyakinan serta meragu-ragukan validitasnya. Seperti pendapatnya dalam buku as-Syi’r al-Jahily (Kesusasteraan Jahiliyah) hal 226: Taurat berhak menceritakan pada kita dua nama semisal Ibrahim dan Ismail begitupula Al-Quran, namun kemunculan dua nama ini dalam Taurat dan Al-Quran tidak menjadi jaminan utuh keberadaan dua nama tersebut dalam sejarah”. Kemudian dia mengatakan bahwa kaum Quraisy pada abad ke 7M telah menerima seutuhnya kebenaran mitologi ini.

Perhatikanlah kelancangan Thoha dalam upaya meragu-ragukan pemahaman-pemahaman yang sudah menjadi keyakinan setiap umat Islam, namun karena kecintaan akan popularitas kemudian secara transparan tanpa basa-basi dia berkata: (Jadi jelaslah bahwa cerita ini adalah peristiwa yang telah terjadi di era pra-Islam yang kemudian dijadikan cerita dalam Al-Quran karena alasan agama). Hujjahnya: (kita terpaksa menilai ada rekayasa dalam penetapan kaitan antara Yahudi dan Arab dalam satu sisi dan pada sisi lain mencari kaitan antara Islam dan Yahudi serta kaitan Al-Quran dan Taurat, karena bisa saja ide cerita ini telah muncul sejak masa-masa awal ketika Yahudi mendiami bagian Utara negeri Arab. Ketika dia telah menduduki posisi kepala kejaksaan, lantas dia ditanya tentang ide gilanya ini, jawabannya: ini merupakan keyakinan saya pribadi tanpa mencari pada referensi manapun, setelah itu dikabarkan padaku bahwa sebagian gagasan ini ditemukan dalam sebagian buku orientalis .




Simplex Magazine2

Aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.