WESTERNISASI (3)

by: fortuna
Golongan yang sengaja diproyeksikan Barat untuk loyal terhadap pemikiran-pemikiran mereka adalah Thoha Husein, Qasim Amin, Ahmad Luthfi Sayyid dan Ali Abdur Raziq.

a. Abdurrahman Al-Kawakibiy

Tinggal di Suriah, dialah aktor kekacauan dan pemberontakan terhadap sistem pemerintahan Daulah Ustmaniyyah, buku-buku sastranya sering menyorot kondisi politik negara dan penentangan terhadap khalifah disaat banyak orang malah diam. Dia datang ke Mesir tahun 1898. Guna menguatkan asumsi politik dan pemikirannya dia menulis sebuah buku berjudul: (mushari' al-istibdad/penentang absolutisme). Pada mulanya buku ini membawa dampak sangat signifikan, namun setelah itu lebih banyak dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap kekhalifahan Utsmaniyyah dan persatuan Islam demi pencapaian tujuan-tujuan terselubung mereka .

Al-Kawakibiy dikategorikan sebagai tokoh pertama yang menggembar-gemborkan paham nasionalisme Arab dan paham sekularisme. Dia telah menelurkan sebuah buku berjudul (Ummul Qura) pada tahun 1899M didalam bukunya itu dia menjelaskan pandangan-pandangannya yang tak lepas dari keloyalitasannya terhadap Barat, dia mengatakan: loyalitas terhadap Barat sama halnya dengan loyalitas Hasan terhadap pemerintahan yang berkuasa di masanya walupun bukan pemerintah Islam dan menutup pintu ketaatan penuh meskipun terhadap tokoh selevel Umar bin Khattab .
Al-Kawakibiy dikategorikan sebagai tokoh pertama yang menggembar-gemborkan paham nasionalisme Arab dan paham sekularisme. Dia telah menelurkan sebuah buku berjudul (Ummul Qura) pada tahun 1899M didalam bukunya itu dia menjelaskan pandangan-pandangannya yang tak lepas dari keloyalitasannya terhadap Barat, dia mengatakan: loyalitas terhadap Barat sama halnya dengan loyalitas Hasan terhadap pemerintahan yang berkuasa di masanya walupun bukan pemerintah Islam dan menutup pintu ketaatan penuh meskipun terhadap tokoh selevel Umar bin Khattab .

b. Muhammad Abduh (1849-1905)

Berjuang keras untuk pergerakan kebangkitan nasional Mesir, aktifitasnya dimulai dari aspek-aspek politik karena dia hidup pada era bergejolaknya kondisi politik Arab, kemudian penjajahan Inggris. dia bekerjasama dengan Jamaluddin al-Afghani dalam menerbitkan majalah berjudul Urwatul Wusqa di Paris tahun 1884. Berpisah dari Jamaluddin dan kembali ke Mesir tahun 1886 dan dia lebih memilih bekerja di dunia pendidikan sebagai media reformasi, inovasi dan kebangkitan bangsa. Dia sangat terkesan sekali dengan pemikiran Barat disebabkan kegandrungannya membaca buku-buku tersebut, dia pernah menterjemahkan buku "Education".

Dia menganut paham membuka selebar-lebarnya pintu ijtihad dalam agama agar relevan dengan kemajuan zaman, banyak sekali keluar fatwa-fatwa sesatnya yang menuai kontroversi dan kritikan tajam namun pemikirannya sangat diterima sekali di kalangan para penggandrung pemikiran Barat . Muhammad Abduh tidak mendirikan sebuah mazhab pemikiran yang komperhensif, dia hanya menulis dan menelurkan karya-karya yang sesuai dengan tantangan zaman kala itu. Seperti buku: Tafsir Al-Quran, Risalah fi Tauhid dan rudud ala Hanoto wa Farih Anthon. Dalam bukunya dia sering melakukan bantahan-bantahan terhadap rekayasa-rekayasa para intelektual Barat tentang Islam.

Muhammad Abduh memakai metodologi mantiq dan filsafat menghadapi filsafat modern dan dia menggunakan metode rasio mu'tazilah dalam dimensi yang lebih luas sehingga sebagian orang menamakannya metodologi neo-mu'tazilah. Para pengikut metodologi Muhammad Abduh ini adalah Qasim Amin, Saad Zaglul dan Zaky Mubarak.

Menggalakkan reformasi Al-Azhar dan pengembangannya dengan mengajarkan ilmu-ilmu kontemporer yang sedang berkembang untuk mengikuti kemajuan zaman . Muhammad Abduh pernah terjerumus dalam pergerakan Marxisme sebelum akhirnya ia tobat dari Marxisme . Dia juga punya hubungan pertemanan dengan Lord Karemour dan Master Plan. Muhammad Abduh juga pernah mendirikan organisasi keagamaan terselubung di Beirut dengan target mengombinasikan tiga ajaran agama langit yaitu Islam, Nasrani dan Yahudi. Dalam konteks ini dia dibantu oleh sebagian umat Islam, orang Inggris dan Orang Yahudi .

c. Thoha Husein (1889-1973)

Seorang yang termasuk dalam kategori penyeru westernisasi terkemuka di dunia Islam. Dia belajar dibawah asuhan seorang Orientalis Yahudi bernama Durkheim, Thoha dibekali dan banyak terpengaruh syubhat-syubhat, teori dan gagasan yang dicanangkan para orientalis sehingga tak jarang kita jumpai pembelaan dan penguatannya terhadap mereka seperti dalam bukunya berjudul (Asy-Syi'r Al-Jahily) dan (Mustaqbal As-Tsaqafah Fi Misr) .

Penyebaran pemikiran dan karya-karyanya terbantu karena keindahan gaya bahasa dan kesusasteraan yang menonjol karena dia merupakan jebolan madrasah Mubdi'ah dibawah pendahulunya seperti Al-Manfhaluthy, Ar-Rafi'iy, Az-Zayyat, Al-Bisri'y dan dilanjutkan oleh dirinya (Thoha Husein). Disamping itu yang menarik simpati para mahasiswa adalah karena capaian keilmiahan dan keberhasilannya meraih prestasi puncak dalam pendidikan, sementara dia adalah seorang tuna netra (buta). Hal ini dijadikan tauladan dan perumpamaan dalam kesabaran serta kesungguhan menimba ilmu.

Dalam bukunya (al-fitnah al-kubra) yang terbagi pada dua kategori, kategori pertama membahas Utsman bin 'Affan dan kategori kedua mengkaji Ali bin Abi Thalib Ra dan keturunannya. Dalam buku ini dia banyak mencela dan merendahkan kedudukan sahabat serta memandang mereka sebelah mata, selain itu Thaha juga menggemakan berbagai isu dan penghinaan citra sahabat yang dicap sebagai politikus busuk pada zamannya. Dia juga membahas masalah ini dalam buku-bukunya yang lain: Miratul Islam, asy-Syaikhan, dan al-wa'd al-haq. Dia juga banyak menebar rekayasa dan isu-isu menyesatkan seputar manifestasi hukum Islam pada era pemerintahan Abu Bakar dan Umar serta mengusahakan pembersihan nama seorang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba dalam sepak terjangnya terhadap Islam .

Thoha Husein menuturkan tentang Amru bin Ash: ("Dari sini jelas bagi kita bahwa Amru bin Ash sama licik dan jahatnya dengan Muawiyah). Dia pernah juga menuduh sahabat Amru bin Ash mempergunakan aset pajak Mesir untuk berfoya-foya . Thoha Husein menceritakan Muawiyah dalam paradigmanya menilai sahabat Abu Dzar: (Muawiyah merasa tidak senang terhadap seorang sahabat Nabi yang mulia –Abu dzar- namun dia tidak bisa menindaknya karena kemuliaan kedudukannya di mata Rasul, karena mengedepankan kepentingan Rasulullah serta karena keislamannya yang lebih awal ketimbang Muawiyah serta karena Muawiyyah tidak membujuk Abu Dzar dengan silauan harta kekayaan) .

Thoha juga mengatakan Aisyah –Ummul Mukminin- sebagai seorang wanita mandul: "Kemandulan Aisyah ini mengganggu psikologinya" bahkan dia menyimpulkan bahwa dendam Aisyah terhadap Ali disebabkan oleh kemandulannya ini . Perndapat Thoha yang lainnya mengenai Khalid bin Walid: "Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah karena Khalid suka kepada istri Malik, kemudian dia menceritakan kekejaman dan sepak terjang pembunuhan yang dia lakoni, celaan lain yang ditujukan juga pada Khalid bahwa ketamakannya terhadap wanita, ujub dan kesombongan serta tuduhannya bahwa Khalid bin Walid telah mengaliri air sungai dengan tumpahan darah musuhnya .

Dia juga menuding Umar bin Khattab seorang radikalis tanpa landasan pijakan yang kokoh, dia mengatakan bahwa kaum Quraisy muak melihat kelakuan Umar ketika beliau berkuasa . Dan tuduhan lain yang diarahkan pada Umar bin Khatab bahwa para sahabat bermuka dua terhadap beliau: "Sahabat yang datang ke Madinah untuk menemui Umar terpaksa harus bersikap baik dan menghilangkan kebiasaan mereka agar kondisi mereka sebenarnya tidak ketahuan, meraka terpaksa harus berpenampilan agak urak-urakan yang melukiskan bahwa mereka hidup dalam kesusahan dan kepayahan hidup, hal itu dilakukan hanya untuk menarik simpati Umar, namun jika mereka telah pulang ke daerah aslinya maka mereka akan balik ke asalnya yaitu hidup dalam kemewahan sembari menyayangkan keberadaan Umar yang memaksa diri hidup dalam kesusahan .

Thoha juga mencerca pendapat pakar hadits seputar peristiwa Tsaqifah Bani Saidah pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW: "Saya tidak bisa menerima validitas teks-teks yang menceritakan dialog antara Abu Bakar dengan Muhajirin di satu pihak serta dialog Abu Bakar dengan Kaum Anshar di pihak lain". Dalam konteks ini Thoha tidak punya landasan ilmiah yang kuat kecuali hanya rasio dan kehendak nafsunya. Bahkan dia sampai meragukan kevalidan usulan Umar pada Abu Bakar dalam memerangi kaum murtad. Dan masih banyak lagi sampel penghinaan Thoha Husein terhadap para sahabat ternama hingga nama-nama selevel Ibnu Abbas, Zubair, Thalhah, Ali, Saad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Utsman bin Affan, dsb tidak terlepas dari sorotannya. Dia memberikan citra seolah jihad dan perjuangan mereka karena dilandasi motivasi keduniaan dan seolah mereka kembali pada masa jahiliyyahnya .
Untuk merendahkan eksistensi Khilafah Islamiyyah serta meragukan kelayakan sistem hukum Islam ia mengatakan: (Masyarakat pada dasarnya menolak pemerintahan Umar tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dan segan terhadap Umar. Kegagalan eksperimen penerapan hukum Islam dibuktikan dengan peristiwa pemberontakan yang terjadi pada masa Utsman bin Affan. Dan waktu akan menjawab ketidaklayakan hukum Islam dan Khilafah Islamiyyah) .

Thoha menuding bahwa keadilan, kebebasan dan persamaan derajat yang terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar bukan karena Islam tapi hanya karena kekharismatikan, ketokohan dan kefiguran kedua khalifah tersebut, padahal kapabilitas mereka terbatas . Dia juga memperkirakan bahwa hukum yang diimplementasikan pada masa Rasul SAW bukanlah hukum langit, dari segi ini tidak ada beda antara Islam dan Kristen . Dia juga berasumsi bahwa permasalahan hukum merupakan urusan manusia yang masih mengandung unsur salah dan betul dan juga memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memahami dan mengabaikan serta boleh mematuhi dan boleh tidak. Benarkah masyarakat zaman Rasul tidak mematuhinya? . Dan dia menilai bahwa pemerintahan pada masa Khulafaur Rasyidin hanya merupakan eksperimen manifestasi hukum ala manusia bukan penerapan Islam. Eksperimen ini tidak sempurna kecuali dengan komparasi penerapan hukum pasca wafatnya Rasul dengan sistem pemerintahan Romawi . Thoha Husein juga berasumsi: "Pemerintahan Islam pada masa Abu Bakar dan Umar telah berupaya menerapkan sistem primitif ini namun Abu Bakar baru akan memulai sedangkan Umar telah memulai penerapannya tapi kurang diterima" .

Thoha Husein juga menangkal sepak terjang -seorang Yahudi asal Yaman Abdullah bin Saba dan lebih populer dengan sebutan Ibnu as-Sauda'- sebagai provakator aksi pemberontakan pada era Utsman bin Affan Ra. Thoha berkata: (Mayoritas orang menyandingkan semua kerusakan, kehancuran dan pertikaian di negeri-negeri Islam yang terjadi di era Utsman pada Abdullah bin Saba dan mereka berasumsi bahwa Ibn as-Sauda’ telah merencanakan upaya ini secara detail dengan mengorganisir terbentuknya kelompok-kelompok rahasia di berbagai penjuru yang saling menuntut satu sama lain sehingga terjadi kekacauan, maka terjadilah peristiwa yang tercatat dalam sejarah berupa serangan, pengepungan dan pengeksekusian khalifah Utsman bin Affan .

Kemudian dia membantah: orang-orang yang memperbesar-besarkan masalah Abdullah bin Saba hingga mencapai level ini terlalu berlebih-lebihan terhadap diri dan sejarah . Dan dia meremehkan: bisa saja para gubernur menangkap dan menyiksanya . Kita harus lebih berhati-hati dan proporsional dalam kondisi ini . Kemudian dengan gampanganya dia berujar: Ini semua tidak logis dan tidak pantas ada dalam sejarah .

Targetnya hanya membebaskan Yahudi ini dari tuduhan yang diarahkan padanya kemudian balik menuduh bahwa Arab dan umat Islamlah yang menjadi penyebab kekacauan ini karena kondisi yang tidak aman dan perebutan kekuasaan. Untuk menguatkan asumsi ini dia berujar: Penyebab kekacauan itu sekelompok kaum elite yang berpacu mendapatkan kekayaan dan tampuk kekuasaan serta kecemburuan sosial masyarakat umum terhadap kaum elite tersebut . Thoha juga menyangkal pengkultusan Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu ass-Sauda, padahal ini merupakan fakta yang telah disepakati oleh para pakar yang berkompeten dan para ulama .

Pada tahun 1938M dia menelurkan kembali karyanya yang lebih kontroversial (Mustaqbal Ats-Tsaqafah Fi Misr), dalam buku ini dia kembali menerompetkan pengikutan metodologi Eropa dalam pemerintahan, administrasi dan hukum . Dia juga menganjurkan Mesir agar memakai politik Barat dan menyamakan karakter Mesir dengan Eropa, dia mengaku bahwa rasio orang Mesir adalah rasio Yunani (Barat) dan kaitan kejiwaan Mesir dengan Barat lebih kuat ketimbang korelasi Mesir dengan Timur karena Mesir bagian Eropa dalam kehidupan intelektual dan pengetahuan dalam berbagai corak dan bentuknya. Dia juga mempropagandakan pendirian sebuah negara nasionalis yang berdiri atas asas budaya dan tidak ada intervensi agama terhadap negara. Dengan kata lain Thoha Husein berupaya menjadikan Mesir pemerintahan atheis.

Dalam bukunya Thoha mengungkapkan: "Jika kita berniat mengembalikan roda kehidupan berjalan sesuai dengan aturan-aturan konservatif (yang dimaksudkan hukum Islam) niscaya kita tidak akan menemukan jalan mengarah kesana dan di hadapan kita rintangan dan hambatan besar yang menanti. Jalan kemajuan itu sudah jelas, terang dan nyata yaitu mengikuti metode yang dipraktekkan Eropa dengan turut serta bekerjasama dalam kemajuan peradaban tanpa memikirkan baik-buruk, manis-pahit, cinta-benci, sedangkan yang punya pikiran lain adalah rekayasa semata". Artinya umat Islam mesti meleburkan diri dalam peradaban Barat dengan melupakan identitas dan jati diri serta pengabaian tanggung jawab mengemban risalah Islam dan mendakwahkannya pada seluruh dunia.

Kefatalan pemikiran ini semakin jelas ketika Thoha Husein langsung ditunjuk menjadi Konsultan Ahli di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Mesir setelah merampungkan tulisannya ini, kemudian diangkat pada posisi Kepala Bagian Kebudayaan di departemen ini, setelah itu dia ditunjuk menjadi dekan fakultas Adab, kemudian ditunjuk menjadi Rektor Universitas Iskandaria, terakhir Thoha diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika menduduki jabatan-jabatan strategis ini Thoha Husein berjuang mengokohkan dasar-dasar program pendidikan yang sesuai dengan teori-teorinya. Namun usahanya ini menuai banyak kritikan sehingga teori-teorinya berguguran satu persatu. Orientasi pemikiran ini semakin sirna ketika Thoha Husein masih hidup, di akhir hayatnya dia berusaha untuk kembali menggabungkan diri pada pergerakan kebangkitan bangsa namun hal itu serasa mustahil .

Dalam bukunya (asy-syi'r al-jahiliy): teori-teorinya diadopsi dari pandangan misionaris Zweimmer dan Orientalis Yahudi Margholiouth , dia pernah dilimpahkan jabatan sebagai dosen pengajar sastra Arab, dia membuka lembaran hidupnya dalam pengajaran sastra Arab ini dengan membeberkan keragu-raguan pada validitas eksistensi syair masa jahiliyyah pra Islam dan dugaannya bahwa ini hanya tipuan dan rekayasa . Thoha memakai metodologi dialektikal Sokrates yang meragukan kebenaran sebelum diadakan eksperimen, tapi ini hanya akal-akalan Thoha untuk meragukan dan menolak semua yang bertentangan dengan logika dan rasionya . Bukunya ini menimbulkan kontroversi sengit dan bantahan dari banyak pihak, Thoha Husein diadili di hadapan Dewan disebabkan oleh bukunya ini . Beberapa penulis yang menulis bantahan terhadap buku ini semisal: Ustadz Muhammad Al-Khadr Husein, Ustadz Muhammad Luthfi Jum'ah dan Ustadz Musthofa Shadiq Ar-Rafiiy .

Thoha Husein menyimpulkan pandangannya dalam buku al-Adab al-Jahiliy dalam ungkapannya: kumpulan syair yang kita namakan sastra jahilyyah pra Islam bukan merupakan sastra asli jahilyyah, melainkan hanya rekayasa belaka setelah Islam muncul, kebanyakan syair-syair tersebut adalah syair-syair Islam yang lebih banyak menggambarkan kehidupan, kecenderungan dan selera umat Islam ketimbang kebiasan jahiliyyah. Dan saya menilai bahwa sisa-sisa syair jahiliyyah amat sedikit dan tidak berarti apalagi kalau dinisbahkan pada jumlah sangat minim tersebut istilah syair jahiliy . Tidak cukup hanya sampai ruang lingkup itu, pendapat bahwa yang membuat syair-syair tersebut adalah golongan permulaan Islam dan kemudian diatas namakan syair jahiliy sebagai rekayasa agar menarik minat orang-orang untuk memeluk agama Islam dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad sebagai orang Quraisy
Thoha melanjutkan: rekayasa ini ditujukan untuk mengokohkan validitas kenabian Muhammad SAW, anda pun bisa mengkategorikan dalam kelompok ini, semua syair yang dilantunkan pra Islam sebagai penyambut kedatangan Muhammad SAW, begitupula dengan semua cerita dan dongeng yang diriwayatkan guna mencapai sebuah pengakuan publik bahwa orang Arab, para dukun, pendeta Yahudi dan Nasrani menanti pengangkatan Nabi terakhir dari kaum Quraisy atau Makkah, dan sample dari cerita-cerita ini banyak ditemukan dalam buku sejarah ibnu Hisyam dan buku-buku sejarah lainnya .

Tujuan dari rekayasa ini -dalam asumsi saya- kepuasan masyarakat yang menginginkan terdapatnya mujizat pada setiap sesuatu . Ia melanjutkan: Al-Quran bercerita pada kita bahwa orang Yahudi dan Nasrani mendapati keterangan tentang kemunculan Nabi Muhammad terdapat dalam Taurat dan Injil, oleh karenanya merupakan keniscayaan untuk kita mengarang cerita-cerita yang terkait supaya menambah keyakinan bahwa pendeta Yahudi dan Nasrani menunggu kemunculan Nabi Muhammad dan mereka mengajak pengikutnya untuk beriman pada nabi tersebut walaupun masa itu belum tiba . Contoh lain dari pengaruh agama terhadap rekayasa syair dan pengaitannya dengan nama syair jahiliy adalah semua cerita terkait kemuliaan kedudukan Nabi, keluarga dan keturunanya .

Dia berpendapat: kita sangat meyakini bahwa syair-syair yang disandingkan pada nama-nama semisal Umayyah bin Abi Ash-Shilt dan kawan-kawan dari golongan hanif yang hidup pada masa Nabi ataupun pra kemunculan Nabi hanya rekayasa belaka sebagai bukti bahwa Islam punya masa lalu di negeri Arab. Alasan ini menjadikan kita sangat berhati-hati sekali terhadap syair-syair yang dinisbahkn pada nama-nama diatas .

Dalam bukunya ('Ala Hamisy As-Sirah):dia membantah fakta sejarah yang diriwayatkan para ahli sejarah sembari memberikan kebebasan pada dirinya untuk menambah-nambah sejarah . Dia pun menentang pendapat para pakar sejarah yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun dengan bukunya "Muqaddimah" dianggap sebagai Bapak Ilmu Sosial dan Sejarah karena dia terpengaruh dengan dosen pembimbingnya seorang orientalis Yahudi Durkheim ketika menyelesaikan studinya di Sorbonne, Perancis.

Bukti kedekatan dan kecintaannya pada Barat khususnya orang-orang Perancis dan tuduhannya terhadap umat Islam yang tidak menerima kemajuan zaman, yaitu pada suatu waktu ketika dia memulai mata kuliahnya seputar bahasa dan sastra dengan mengucapkan hamdalah dan shalawat Nabi kemudian dia berujar: Orang-orang akan menertawakan saya jika saya memulai ceramah/pidato dengan hamdalah dan shalawat Nabi karena ini sudah bukan zamannya .

Pemublikasian (Rasail Ikhwan Ash-Shofa) pada tahun 1929M dengan pengakuan bahwa Ikhwan Ash-Shofa adalah kelompok reformis pembaharu yang menghadirkan filsafat-filasafat India, Persia dan Yunani ke tengah masyarakat Islam guna merintis sebuah wawasan pengetahuan baru yang mesti dikuasai oleh sosok-sosok cendekia yang menginginkan pencerahan pemikiran. Ini hanya akal-akalan busuk Thoha Husein pada para pengikutnya karena pada dasarnya Ikhwan Ash-Shofa tidak didirikan kecuali dengan misi menghancurkan Islam, jika misinya mencerahkan umat pasti dia akan menyebutkan didalamnya pandangan para Ulama berbagai kurun waktu tentang kekeliruan makalah-makalah dan paper tersebut.

(Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa) didirikan pada abad ke 4H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini disebarluaskan di masyarakat dan terdiri dari 51 makalah yang berbicara tentang seluruh bab filsafat yang disertai daftar isi. Rasail ini juga memuat kombinasi ajaran berbagai teologi dan keyakinan. Kemudian mereka mempropagandakan bahwa Syariat Islam telah terkontaminasi dengan banyak kesesatan dan ketidakjelasan. Maka menjadi tugas filsafat (cinta kebijaksanaan) untuk kembali mensucikannya. Dengan ini kembalilah kesempurnaan Islam. Atas dasar konklusi ini mereka beragumentasi, pribadi sempurna dan komprehensif adalah: berketurunan seperti Persia, beragama seperti orang Arab, bersastra seperti orang Iraq, punya pemahaman seperti orang Ibrani, bermanhaj seperti orang Nasrani, beribadah seperti orang Suriah, berilmu seperti orang Yunani, berkeyakinan seperti orang India, berperilaku seperti orang Sufi dan beretika seperti Malikiy. Senada dengan itu mereka berkata: tidak sepantasnya kita menentang satu disiplin ilmu manapun atau tidak membaca salah satu buku apapun dan fanatis pada mazhab tertentu, karena prinsip kita mendalami semua mazhab dan cabang keilmuan.

Rasail ini adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Segara implisit, rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:

a) Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b) Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c) Bantahan implikasi syaithan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka syaithan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d) Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e) Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f) Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam bathin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/ syariat.
g) Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h) Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu, pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani.

Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah .

Dalam bukunya (Hadits al-Arbi'a/diskusi Rabu): Thoha Husein mempublikasikan kumpulan makalahnya yang diajukan pada koran As-Siyasah, sorotannya tertuju pada seorang penyair yang kurang punya rasa malu, berpaham libertinis (serba boleh) dan penyair-penyair yang banyak bercerita tentang wanita dan percintaan. Seperti: Abu Nuwas/Nawas, Bisyar dsb dalam upayanya menciptakan image suram abad ke 2H bahwa di masa itu merebak kerusakan moral dan kehilangan rasa malu dengan keberadaan para penyair ini di masa itu sebagai bukti. Dia menjadikan buku "Al-Aghani" karangan Al-Ashfahani sebagai referensi. Thoha Husein mengembangkan cerita-cerita jelek dan tak senonoh itu dengan gaya bahasa yang menarik dan memukau sehingga menggiring generasi umat untuk berperilaku kurang layak dan tak senonoh serta tenggelam di dunia syahwat. Sementara itu dia mengabaikan ulama-ulama umat yang muncul pada abad ke 2H ini, ulama-ulama sekaliber Hasan Al-Bashriy, Asy-Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, Ibnul Mubarak, Rabiat Ar-ra'yi, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi dsb.

Thoha berujar: Jika kita ingin menyimpulkan kondisi abad ke3 H ini maka kita bisa menjadikan Abu Nuwas ini sebagai sampel untuk meneliti keseluruhan zaman ini . Dalam kesempatan lain dia bercerita tentang Abu Nawas: Abu Nuwas dan kawan-kawannya walaupun dengan kefasikan dan syair-syair yang tak senonoh yang dia lantunkan tapi dia masih tetap beragama dan melaksanakan kewajiban shalat, tapi mereka berbuat sia-sia dengan kefasikannya di satu sisi dan begitupula pada sisi lainnya. Dan mungkin saja kebanyakan waktunya dia manfaatkan untuk berbuat nista dan ketika mereka ingat shalat mereka segera mengerjakannya. Dan mungkin saja terjadi bilamana mereka shalat dengan keadaan seperti ini lantas mereka diimami oleh seorang yang sedang menyesal sehingga salah membaca surat Al-Ikhlas, maka shalat mereka bisa saja berubah dari khusu' menjadi mencela imam yang salah tersebut .

Catatan: buku al-Afghaniy dikarang oleh Abu al-Faraj al-Ashfahany lebih dari dua puluh jilid dan dijadikan sebagai bahan obrolan begadang para penguasa kala itu, dan bukan demi misi keilmuan atau menceritakan sejarah. Perlu diketahui pula bahwa Abu al-Faraj merupakan salah seorang yang benci pada bangsa Arab. Pengarang Mujam al-Udaba' bercerita tentang sosok abu Al-Faraj: gaya Abu Al-Faraj dalam pengilustrasian kondisi seorang yang kecanduan minuman keras, cinta syahwat dan wanita sama halnya dengan para penyair dan sastrawan yang hidup semasa dengannya atau sebelumnya, dia juga seorang yang kecanduan terhadap minuman keras tanpa memperhatikan kebersihan badan dan pakaiannya .

Sejarawan Al-Yusufi menceritakan: "Abu al-Faraj seorang pendusta, karena pada suatu hari dia pernah pergi ke pasar buku yang dipenuhi oleh aneka ragam buku, waktu itu dia membeli buku dalam jumlah yang banyak, lantas dibawa pulang ke rumah dan ternyata semua ceritanya diambil dari kumpulan buku yang telah dia beli tadi . Siapapun dengan latar belakang seperti ini, bagaimana mungkin dijadikan referensi keilmuan dan sejarah. Sementara buku-buku itu ditulis khusus guna memuaskan keinginan para pembaca yang menggandrungi bacaan-bacaan tak senonoh. Oleh karenanya Zaki Mubarak pernah berujar: Sangat fatal sekali jika kitab Al-Aghani dijadikan rujukan yang menjadi landasan fakta-fakta sejarah . Namun kaum orientalis dan para pengikutnya -dalam rangka pendistorsian sejarah Islam (Islamic historical)- menjadikan buku ini sebagai referensi sejarah. Seperti yang diprakarsai oleh Lamins ketika menulis buku (tarikh Bani Umaiyah) dan begitupula seorang orientalis Valhuzn dalam bukunya (ad-Daulah al-Arabiyyah wa suqutuha) .

Catatan: Seperti buku (alfu lailatin wa lailah/seribu satu malam), sebuah karangan rekayasa yang tidak diketahui siapa pengarangnya, telah disusun selama beberapa dekade. Sebagian besar buku membahas kondisi lingkungan pra Islam di Persia, India dan negeri-negeri penganut paganisme. Cerita ini berkembang dari mulut ke mulut. Cerita-cerita buku ini penuh dengan kefasikan dan hal-hal suram yang tidak ditemui pada masyarakat Islam yang lebih populer dengan kemuliaan, rasa cemburu, perasaan malu dan terlepas dari hal-hal keji. Para orientalis sengaja mengeksploitasi buku-buku ini guna mendistorsikan wajah masyarakat Islam, seolah demikianlah kondisi mereka sebenarnya dan seolah buku ini merupakan ilustrasi "cerita cinta negeri Timur ". Orang yang pertama kali sibuk dengan buku ini adalah petualang Inggris bernama Richard Person ketika dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris guna –dalam sangkaanya- mengenal peradaban dan etika umat Islam. Seorang orientalis Perancis bernama Gholan telah menerjemahkan buku ini pertama kali pada tahun 1704M setelah dia revisi menjadi sebuah potret kehidupan Timur yang kurang beradab dengan memfokuskan sorotannya pada kemewahan dan foya-foya, dari buku ini juga seorang orientalis bernama Lein mengambil latar belakang karangannya berjudul (Syamail al-Misriyyin al-Muhdisin). Mayoritas orang menilai buku ini sebagai referensi potret kehidupan masyarakat Islam. Banyak institusi pendidikan misionaris dan penerbit komunis di Beirut yang sengaja mencetak buku ini berwarna, tak ketinggalan penerbit Dar al-Hilal yang berkedudukan di Mesir turut serta menerbitkan buku ini. Sedangkan Taufiq Al-Hakim dan Thoha Husein turut serta dalam membikin cerita-cerita khayalan yang terilhami dari buku 1001 malam (alfu lailatin wa lailah) .

Kesimpulan: Thoha Husein berada di garda depan diantara para pengikut orientalisme yang memproklamirkan rasa salut dan hormat terhadap kaum orientalis dan metodologi-metodologi mereka . Dan dia dianggap sebagai pengusung bendera para pembela teori-teori Barat sehingga ada yang berasumsi bahwa Thoha Husein adalah orientalis berkebangsaan Arab.

d. Qasim Amin

Pengikut Muhammad Abduh, salah seorang generasi pengusung paham yang telah terkontaminasi pemikiran Barat dan mempropagandakan penggunaan metodologi Barat sebagai media untuk mencapai kemajuan dan kebangkitan, Qasim pernah belajar di Sekolah Hukum Mesir yang mengadopsi kurikulum Perancis. Pada tahun 1881M Qasim melanjutkan kuliah pasca sarjana di Perancis. Qasim pernah menulis tentang museum Lovre Perancis: "diantara kemungkinan utama kemunduran bangsa Mesir adalah karena kemundurannya dalam aspek estetika seperti: drama, patung dan musik. Semua jenis seni ini meski berbeda aliran tapi demi satu visi yaitu mendidik jiwa untuk mencintai seni dan keindahan karena pengabaian masalah ini menyebabkan pengurangan nilai rasa dan karsa .

Secara apriori kemunduran umat bukan karena ketertinggalan dalam bidang seni perfilman, patung dan musik , khususnya setelah umat dibenamkan oleh Khudaiwi Ismail dalam hutang-hutang ribawi, kehancuran ekonomi dan hukum-hukum konvensional yang diterapkan. Tapi inilah satu sampel dari sekian banyak dampak perang pemikiran terhadap logika berfikir generasi Islam yang menyebabkan perasaan mereka jauh dari memikirkan kondisi suram dan realita pahit yang menimpa umatnya sembari berharap mereka bisa loyal terhadap harapan-harapan kosong yang akan membunuh mereka dalam kondisi kesenangan apalagi di saat kesusahan.

Fokus perjuangan Qasim Amin terletak pada problematika sosial seputar wacana wanita dan pengubahan paradigma masyarakat terhadap kedudukan wanita agar bisa meniru peranan wanita Barat dalam masyarakat, dalam hal ini dia sangat berpegang teguh pada propaganda penentangan hijab/jilbab.

Dan yang mengherankan, bahwa Qasim Amin sendiri pernah menulis sebuah buku pada tahun 1893M, judul bukunya (al-Misriyyun) sebagai bantahan terhadap tulisan yang menyerang Islam oleh Douk Drakour. Dalam bukunya "Al-Misriyyun" Qasim melakukan pembelaan terhadap pemakaian hijab/jilbab dan dia memuji larangan pergaulan laki-laki dan wanita serta melakukan serangan balik terhadap kondisi wanita Barat yang menganut paham kebebasan dan serba boleh (libertinis), dan Qasim pun sempat melancarkan tuduhan bahwa wanita Barat tidak mampu menjaga diri dan kehormatannya. Dia juga menguatkan bahwa Islam punya sistem politik sendiri disamping ajaran agamanya, adapun realita kemunduran umat hanya karena pengabaian mereka terhadap ajaran agama.

Tapi Qasim Amin pada tahun 1899M berbalik menyerang argumentasi pribadinya ketika dia menerbitkan buku (tahrir al-mar'ah/emansipasi wanita). Dan dia berasumsi bahwa hijab /jilbab hanya kebiasaan orang Arab yang tidak ada kaitannya dengan ajaran agama Islam, kemudian ia menganjurkan penanggalan jilbab bagi wanita-wanita Mesir , disamping penolakannya atas dikotomi antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan sosial dan dia menuntut sebaliknya. Ia juga menuntut pembatasan hak laki-laki dalam thalaq/perceraian, larangan poligami kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dia mengobarkan pandangan-pandangan ini secara berani dan frontal sehingga banyak menuai bantahan dari para penulis.

Pada tahun berikutnya 1900, ia menerbitkan buku barunya berjudul (al-Mar'ah al-Jadidah/ wanita modern), dalam bukunya ini dia balik menentang bantahan-bantahan yang ditujukan pada bukunya yang pertama dengan menyebutkan teori dan pandangan lain yang masih berkaitan dengan tema ini. Dari dua buku itu termanifestasi secara jelas pengingkarannya terhadap keberadaan sistem politik dalam Islam. Para peneliti menyebutkan mayoritas pendapat Qasim Amin teradopsi dari seorang yang kapabel melakukan penelitian syariat dan dakwaan bahwa penelitian itu merupakan ijtihad, terutama dari guru Qasim Amin sendiri yaitu Muhammad Abduh, bahkan kabarnya beberapa bab dalam bukunya merupakan tulisan gurunya Muhammad Abduh. Diinformasikan juga bahwa Qasim Amin sempat mengoreksi gagasan-gagasannya ini sebelum meninggal , namun teori-teorinya terlanjur diikuti oleh khalayak yang akan menjadi tanggung jawab Qasim Amin.

e. Ahmad Luthfi As-Sayyid (1872-1963)

Digelari dengan Ustadz al-Jail , merupakan seorang loyalis otoritas asing di Mesir di era penjajahan Inggris di Mesir. Dia populer sebagai tokoh yang menyatakan penolakan dan kebencian terhadap Dinasti Utsmani dan terhadap persatuan Islam serta membantah seruan terhadap solidaritas muslim sedunia. Dia menyerukan paham nasionalisme dengan slogan (Mesir milik orang Mesir), diantara fakta yang mengacu kesana; tulisannya dalam berbagai makalah bertemakan (politik asas kepentingan/pragmatis bukan asas perasaan) ketika invasi Italia ke Libya tahun 1911M. Dia menuntut netralitas Mesir terhadap Italia dan Libya serta menolak untuk membantu bangsa Libya.

Luthfi menjadi pemimpin surat kabar (al-Jaridah) pembawa suara partai Kebangsaan yang loyal terhadap pemerintahan Inggris dan dalam partai ini tergabung kaum bangsawan dan para pemegang tampuk kekuasaan yang menjadi media kolonialisme untuk merealisasikan loyalitas terhadap mereka. Selama bekerja di (al-Jaridah) dari tahun 1907M sampai tahun 1914M dia telah mampu merancang sebuah teori baru untuk mengatur kehidupan sosial, perpolitikan, pendidikan dan ekonomi yang meniru konsep Barat dan berusaha melawan orientasi-orientasi keislaman dan kebangsaan.

Dia sangat menghormati Lord Karemour Perwakilan Tinggi Inggris di Mesir dari tahun 1883-1907 meskipun ia sering mendiskreditkan dan mengolok-olokkan orang Mesir dan umumnya umat Islam dan mengakui ketokohan mereka. Dia juga yang menyulut propaganda pemakaian bahasa "A'miyah Mesir" mengikuti langkah pendahulunya orientalis Wilcook dan Molar, Dan banyak sekali yang membantah pendapatnya ini semisal: Abdurrahman al-Baquqi dan ar-Rafi'i. Dia juga mendukung gagasan mempergunakan filsafat Yunani untuk kebangkitan umat Islam masa sekarang. Dia telah menterjemahkan buku Etika karangan Aristoteles dari bahasa Perancis padahal Eropa sendiri menolak buku-buku karangan Aristoteles dan membangun peradabannya atas dasar metode eksperimen yang mereka adopsi dari umat Islam .

Kesimpulan: Penghormatan Ahmad Luthfi terhadap gagasan Barat dan kegandrungannya terhadap pemikiran Barat tersebut dibelakang posisinya yang mempropagandakan nasionalisme dan penentangan terhadap Khilafah Islamiyyah dan berkiblat ke Barat adalah untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan –dalam anggapannya-.

f. Ali Abd Ar-Raziq

Kelahiran tahun 1888, dia pernah mengenyam pendidikan di Al-Azhar dan mencapai pediket nilai Al-'Alamiyyah. Ia juga pernah belajar Ilmu Ekonomi dan Politik di London, kemudian ditugaskan pada Pengadilan Agama Mesir hingga tahun 1925M ketika dia berhasil merampungkan bukunya berjudul (Al-Islam wa Usul al-Hukm) . Penerbitan bukunya terjadi pasca penghapusan Khilafah Islamiyyah di Turki oleh Kamal Attaturk serta pengaplikasian aturan Eropa yang sekuler di Turki.

Ali Abd Ar-Raziq mengeluarkan propaganda bahwa syariat Islam hanya spirit semata dan tidak ada korelasi syariat dengan hukum serta masalah-masalah dunia. Dia menyangkal kewajiban pengangkatan seorang khalifah bagi umat Islam dan mengatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar dan khalifah sesudahnya bukan pemerintahan agama. Bukunya diterima dengan munculnya kontroversi yang sangat kental, sehingga pada Agustus tahun 1925M Al-Azhar memutuskan untuk mencabut ijazah berprediket Al-Alamiyyah yang pernah diberikan Al-Azhar padanya, pencabutan ini karena fatwanya yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah dan Ijma umat .

Sebelum penerbitan buku ini tidak pernah terdengar tulisan dan karangannya kecuali buku-buku kecil tentang bahasa dan kesusasteraan, begitupun setelah buku ini tidak lagi pernah terdengar tulisannya sebagai pembelaan asumsinya bahkan buku-buku selama hampir 40 tahun.

Ali Abd Ar-raziq bukan seorang imam mujtahid tapi dia adalah seorang hakim yang tersambar kekuatan Barat kemudian kekuatan itu berhasil membentuknya untuk turut berperan aktif meramaikan belantara pemikiran Barat dan dikabarkan bahwa bukunya ini adalah karangan orientalis Yahudi bernama Margholiouth yang dia hadiahkan pada Ali ketika masih di London kemudian buku itu dia terjemahkan ke Bahasa Arab serta melampirkan beberapa tambahan yang Ali nilai akan menguatkan argumentasi buku ini. Oleh karena itu sebagian orang memberi judul bukunya: "Penjelasan Ali Abdur Raziq terhadap buku Margholiouth".

Buku ini berperan besar dalam seruan sejumlah besar para pimpinan mazhab sekularisme karena bukunya secara implisit mengandung prinsip pengabaian syariat Islam dalam kehidupan. Buku ini "dimanfaatkan" dengan propaganda bahwa umat Islam punya dua asumsi terhadap masalah ini:

a. Islam adalah agama dan negara
b. Islam agama spiritual saja

Dan mereka menempatkan Ali Abd-Ar-Raziq sebagai pimpinan golongan kedua. Bukti kedekatan Ali dengan para orientalis yaitu acara yang pernah dia selenggarakan di Universitas Mesir untuk mengenang seabad meninggalnya orientalis Arnest Rainan yang dikenal dengan serangan pemikirannya terhadap Arab dan umat Islam.

Catatan penting: Setelah disimpulkan ternyata banyak diantara penulis terkenal yang mengembangkan pemahaman sekularisme beralih pada tulisan-tulisan yang dalam tampilannya berkedok seperti tulisan Islam. Hal ini diprakarsai setelah tahun 30-an yang melemahkan metodologi tulisan dengan cara Barat, mereka berusaha memperbaiki image para pembaca terhadap karangan sekuleris. Contohnya buku hayat Muhammad karangan DR.Muhammad Husain Haikal, buku Muhammad an-Nabiy al-Basyar karangan Taufiq al-Hakim, silsilah al-Abqariyat karangan Al-Aqqad dan upaya Thoha Husein dalam bukunya ('Ala Hamisy as-Sirah). Reformasi ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

a. Konfrontasi arus pemikiran Islam dengan westernisasi

Hal ini terefleksi dari perlawanan Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dengan metode dakwah salafinya dalam manuver perjuangan menentang sekularisme selama hampir 30 tahun , lalu peranan Imam Hasan Al-Banna yang memasukkan pergerakan Islam dalam wilayah pendidikan kemudian beliau mangarahkan pergerakan Islam ini untuk konfrontasi melawan arus pemikiran westernisasi dan perannya sangat penting dalam konteks ini. Natijahnya dapat dilihat pada permulaan Perang Dunia II ketika umat Islam merasa membutuhkan tempat berlindung spiritual sebagai tempat bergantung ketika akan menghadapi kemungkinan terburuk yang bakal terjadi pada Perang Dunia II ini. Atas alasan ini mereka memisahkan diri dari para penulis sekuler tersebut dan berusaha mendekati pergerakan-pergerakan ini dengan berbagai karya yang bertampilan Islamy, walaupun hanya dari sudut rasio mereka semata (kalian lebih memprioritaskan rasio semata dan berlepas diri dari semua bentuk warisan pemikiran dan etika, kalian tidak peduli apakah rasio dan logika kalian dalam berbagai paradigmanya akan bermuara dengan seluruh atau sebagian pemahaman agama, atau bahkan bertentangan dan menyalahi aturan agama) .

DR. Muhammad Muhammad Husein mengatakan: "Sesungguhnya Thoha Husein dan al-Aqqad telah disapubersihkan oleh gelombang Islam yang sangat besar dan selalu mengintai buku-buku kedua tokoh tersebut setelah pernah menjadi bid'ah-bid'ah yang tersebar luas dan mendominasi pasar, sementara presentasi-presentasi kekafiran dan teori-teori terselubung Barat bukan dianggap lagi sebagai salah satu puncak pencapaian seorang pemikir yang akan menarik minat para generasi muda sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya pada tahun 20-an" .

Inilah urgensi dari konfrontasi para pejuang dakwah terhadap arus weternisasi dan sekularisme dengan segenap daya upaya yang mereka miliki, ini menjadi alasan kembali digandrunginya tulisan-tulisan Islam oleh para pemuda Islam dan bertambahnya minat untuk turut bergabung dalam barisan pergerakan dakwah yang menjadikan aktifitas penyampaian pesan-pesan agama semakin maju pada zaman sekarang –alhamdulillah-.

b. Problematika Palestina dan Kemunculan Hegemoni Komunisme dalam Negara

Tragedi menyedihkan yang menimpa Palestina telah menjadikan umat lebih memperhatikan kondisi aktual ke"umat"an sementara misi pendirian negara Yahudi di jantung kota umat Islam adalah karena kekhawatiran munculnya kebangkitan Islam. Fakta ini malah semakin meningkatkan perhatian umat pada para pejuang dakwah dan perjalanan dakwah Islam. DR. Muhammad Muhammad Husein menuturkan: "Reformasi pemikiran disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat mayarakat dan para cendekiawan kembali ke jalan pemikiran Islam yaitu: permasalahan Palestina dan semakin berkuasanya komunisme serta bermunculannya pergerakan- pergerakan besar Islam pada tahun 1929 M .

c. Pergulatan Partai Politik

Pergulatan yang muncul di tengah-tengah kehadiran banyak partai pra pemberontakan Juli 1952M, turut serta di dalamnya para penulis asuhan Barat tersebut, sehingga masyarakat banyak lari dari mereka. Khususnya mereka yang menampilkan keinginan merealisasikan misi partai atau individu disamping itu juga membuat mereka lari dari kesinambungan dalam aktifitas merusak masyarakat dengan pemikiran sekuler Barat. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan Juli , partai-partai dan kegiatan politik mereka bubar, sehingga dengan sendirinya terpilahlah satu kelompok baru penulis dengan pemikiran dan metode baru .




Simplex Magazine2

Aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.